Tuesday, January 12, 2010

Nikmatnya Hidup Dalam Keridhoan Allah


IBNU HIBBAN meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik. Intinya, kelak di hari kiamat, ada segolongan umat
Muhammad yang melesat terbang dari kubur mereka langsung menuju sorga, tanpa hisab. Para malaikat bertanya, “Amal apa yang pernah kalian lakukan selama di dunia?“ Mereka menjawab, “Bila kami dalam keadaan bersepi, rasanya malu kami melakukan maksiat. Di samping itu, kami ridha menerima bagian sedikit yang diberikan Allah kepada kami “.


Dalam kitab ‘Cinda dan Rindu ‘ ( terjemahan ) karya Imam Ghazali, diceritakan ada seorang ahli ibadah di zaman Bani Israil yang sepanjang tahun pekerjaannya melulu beribadah. Satu malam ia bermimpi, mendengar seseorang berkata “Kelak ada seorang wanita pengembala yang menjadi temanmu di sorga“. Ketika bangun, ia cari wanita itu dengan bersusah payah. Setelah ketemu, ia ajak untuk menginap di rumahnya selama tiga hari. Si Abid ( ahli ibadah ) itu ingin tahu amalan apa yang dikerjakannya di waktu malam. Ternyata si wanita itu hanya tidur. Si Ahli ibadah, siang berpuasa sunat, sedangkan si Gembalawati, itu tidak. Setelah genap tiga hari, si Abid bertanya mengenai kebiasaan sehari-hari wanita itu. Ia menjawab, “Jika saya berada dalam kesulitan, saya tidak pernah berharap berada dalam kelonggaran. Kalau kebetulan sakit, tidak beharap segera sembuh. Kalau sedang berada di bawah terik matahari, saya tidak berharap berada dala keteduhan“. Mendengar ungkapan itu, si Abid berkata, “Ya, benar. Itulah soalnya. Demi Allah, yang begitu itu tidak banyak ahli ibadah yang melakukannya“.

Dalam tradisi amal ubudiyah, cinta ( mahabbah ) menempati derajat utama. Mencintai Allah dan Rasul-Nya, berarti melaksanakan seluruh amanat dan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa mahabbah. Pada mulanya, perjalanan mahabbah seorang hamba menapaki dejarat mencinta-Nya. Namun, pada akhir perjalanan ruhaninya, sang hamba mendapatkan derajat wahana yang dicintai- Nya,“ demikian antara lain tutur Abdul Aziz Musthafa dalam buku ‘Mahabbatullah‘.

Kecintaan kepada Allah SWT hanya bisa dicapai dengan menghilangkan kecintaan kepada selain-Nya. Itu pula yang terjadi pada Rabi’ah. Ketika Hasan Al Basri datang melamarnya, Rabi’ah menolak dengan sangat bijak. Ia bertanya kepada Al Hasan, “Menurut anda, berapa persenkah nafsu perempuan dibandingkan nafsu lelaki?“ Al Hasan menjawab, “Sembilan puluh persen nafsu perempuan dan sepuluh persen nafsu lelaki“.

Rabi’ah melanjutkan, “Berapa perbandingan akal perempuan dan akal lelaki?“ Dijawablah, “Sepuluh persen akal perempuan dan sembilan puluh persen akal lelaki,“ kilah Al Hasan. Lalu Sufi wanita ini menjawab, “Mengapa saya yang memiliki akal sepuluh persen dapat mengendalikan sembilan puluh persen nafsuk, sementara sembilan puluh persen nafsumu tidak bisa mengenalikan sepuluh persen akalmu?“ Dengan sedih, ulama kharismatik kota Basrah itu meninggalkan Rabi’ah. Ketika ada seseorang bertanya kepada Rabi’ah, “Mengapa engkau tolak lamaran Al Hasan? “ Ia menjawab, ”Karena di dalam hatiku hanya ada kecintaan kepada Tuhan, tidak ada tempat untuk mencintai sesama manusia“. Dalam kaitan ini bukan pula Rabi’ah tidak mencintai Rasulullah SAW. Kecintaan kepada Allah diwujudkan dengan kecintaan pada Rasulullah SAW. Karena, sebenarnya di dalam cinta kepada Allah itu mengandung cinta kepada Rasulullah SAW. Sebab Rasul SAW bersabda , “Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku“.

Tanpa disertai Mahabbah, ibadat kita terasa gersang, amal terasa hampa dan pertumbuhan ruhani tidak tumbuh subur sebagaimana mestinya. Sebab, ladang jiwa kita telah menjadi wahana persemaian biji keimanan dan keyakinan, tidak menjadi ladang yang disuburkan oleh peribadatan, keilklasan, kecintaan dan istiqamah.

Ridha atau senang menurut Imam Ghazali adalah salah satu buah yang dihasilkan oleh cinta..

0 comments:

Post a Comment